Apa itu Trauma?
Pernah mendengar trauma?
Trauma memengaruhi otak. Trauma dapat mengganggu sistem saraf dan dapat bertahan selama bertahun-tahun setelah suatu peristiwa atau keadaan. Trauma merupakan gangguan yang lebih parah dan sering kali bertahan lama terhadap rasa aman dan kesejahteraan seseorang. Dalam bukunya yang inovatif, The Body Keeps the Score, Dr. van der Kolk (psikiater spesialisasi otak) menjelaskan bagaimana trauma dapat mengubah struktur dan fungsi otak, yang mengarah ke gejala-gejala seperti hiperarousal (mudah terpicu), mati rasa secara emosional, dan ingatan yang mengganggu.
Pengalaman traumatis biasanya ditandai dengan perasaan tertekan, cemas, marah, takut, tidak berdaya, atau putus asa dalam menanggapi peristiwa yang mengancam jiwa atau sangat menyedihkan.
Trauma dapat terjadi akibat berbagai peristiwa seperti kecelakaan, bencana alam, kekerasan dalam rumah tangga, atau pelecehan atau pengabaian masa kecil.
Manual Diagnostik dan Statistik Gangguan Mental (DSM-5) mendefinisikan trauma sebagai “paparan terhadap kematian yang nyata atau ancaman kematian, cedera serius, atau kekerasan seksual.”
Trauma tidak hilang begitu saja seperti stres; trauma akan tetap ada dan dapat menyebabkan berbagai kondisi psikologis yang melemahkan, termasuk Gangguan Stres Pascatrauma (PTSD)
Kisah Trauma Masa Lalu
Saya akan menuliskan kisah seorang perempuan berusia 40-an tentang bagaimana ia baru menyadari bahwa dirinya mengalami trauma.
Mata kuliah sore itu adalah Pengelolaan Stress dengan topik Stress dan Trauma. Otakku seolah terhenti ketika sebaris kalimat ini dijelaskan, “Salah satu gejala trauma yaitu mati rasa secara emosional”. Tiba-tiba tubuhku merasa tidak nyaman. Tanganku mulai gemetar, kelopak mataku memanas dan basah. Jantungku berdegup kencang.
Kuangkat tanganku menginterupsi dosen yang sedang mengajar, “Ibu, itu saya.” Tangisku pun pecah tak terbendung. Rasa marah, sedih dan kecewa menyeruak keluar memenuhi dadaku. “Ibu, saya mengalami mati rasa. Saya mati rasa terhadap ayah saya.”
“Seperti apa?” Ibu dosen memberiku ruang.
“Sejak saya kanak-kanak, saya sudah tidak suka dengan ayah saya. Saya nyaris tidak begitu peduli dengan orang tua saya. Sesungguhnya aku merasa itu tidak normal, tetapi aku bahkan tidak bisa berpura-pura peduli dengan mereka.” Aku berhenti sejenak karena tidak bisa menahan tangis.
“Kenapa dengan orang tuamu?”
“Ayah saya suka main perempuan. Dan yang membuat saya gila adalah, ibu selalu memberitahuku dan mengajakku menemui perempuan-perempuan itu.” Aku terisak. Sedih dan marah bercampur aduk menyakitkan. Rasanya sakit.
Aku bisa ingat, mungkin aku masih kelas 5 SD, usiaku sekitar 10 tahun. Pagi-pagi sekali ayahku sudah berangkat ke kantor yang berjarak sekitar 10km dari rumah kami, dia sengaja pergi di saat anak sekolah berangkat kerja, supaya dia bisa membonceng seorang gadis SMA yang kata ibuku sedang disukai oleh ayahku. Waktu itu ibuku marah besar, merasa dikhianati dan diabaikan. Dia harus mengurus aku dan adik-adikku sendirian, kemudian harus berangkat juga bekerja. Sementara menurut ibuku waktu itu, ayahku mau cepat-cepat pergi demi anak gadis itu.
Sore harinya aku melihat ayahku pulang dengan membonceng gadis itu dengan motor bebeknya tanpa merasa bersalah. Katanya dia hanya kebetulan memberi tumpangan anak tetangga. Dan dilakukan hampir setiap hari.
Kemudian beberapa tahun setelah itu aku mendengar lagi ayahku berpacaran dengan si A. Mereka pergi jalan-jalan naik mobil ibuku. Luar biasa memang kelakuannya. Ayah dan ibuku bertengkar hebat, Ibu mengajakku mendatangi dan mengancam perempuan itu. Saat itu aku hanya tahu, aku sangat marah pada perempuan itu.
Selang beberapa waktu, info tentang ayahku dan pacarnya terdengar lagi. Ayah dan ibuku bertengkar lagi, dan berakhir dengan si perempuan didatangi dan dimaki oleh ibuku. Begitu berulang kali terjadi. Dalam benakku saat itu perempuan-perempuan itu gatal, karena ibuku bilang begitu. Ibuku bertahan dengan ayahku. Katanya demi nama baik dan demi anak-anak.
Akibat dari perbuatan ayahku, sejak remaja aku tidak ingin menikah. Aku tidak ingin punya suami. Nah, walaupun akhirnya aku menikah, aku minim romantis dengan suami. Aku tidak pernah mempercayainya 100%. Aku selalu mempersiapkan diri untuk berpisah dengannya.
Kemudian, aku mati rasa terhadap ayah ibuku, terutama ayahku. Aku kurang peduli dengannya. Bagiku dia laki-laki jahat. Dan ibuku pun jahat selalu menyeretku dalam masalah perselingkuhan ayahku.
—
Seperti itulah trauma menyakiti perempuan tadi, membuatnya mati rasa secara emosional terhadap orangtuanya. Selama puluhan tahun tersimpan, memunculkan tindakan-tindakan yang akhirnya merugikan diri dan orang-orang terdekatnya.
Kalau kamu membaca tulisan ini dan merasa memiliki pengalaman pahit yang menyedihkan atau sesuatu yang menakutkan, mungkin kamu perlu menyelesaikannya.
Kak, aku mau nanya. Sebenarnya apakah ga masalah kita membiarkan trauma itu atau justru perlahan kita lawan rasa takutnya? Kemungkinan kan kita juga susah untuk mengobatinya, misal belum sanggup/percaya/yakin untuk pergi ke psikolog atau lain halnya, kira-kira dari sisi ilmu psikolog gimana ya?
Versi aku, sebaiknya kita tahu dulu kita itu trauma terhadap apa?
Misalnya trauma terhadap tsunami. Kita pelajari apa itu tsunami, seperti apa itu tsunami, kapan kemungkinan tsunami lagi. bagaimana kalau tsunami lagi?
Dengan mengetahui pengetahuan tentang tsunami, kita bisa lebih tenang pasti, ternyata tsunami itu fenomena yang jarang sekali terjadi. Kemungkinan 50 tahun lagi pun belum tentu terjadi, akan tetapi daripada ketakutan terus, lebih baik aku tinggal jauh dari pantai.
Atau seperti kisah yang kuceritakan di atas. Ketika perempuan itu tahu dia trauma karena melihat ayahnya dan menjadi tidak peduli dengan ayahnya, dia bisa ke psikolog, pelan-pelan mengeluarkan kebencian-kebenciannya dan mencoba memaafkan ayahnya.
Jadi kalau mau pulih, lebih ke mengenali trauma kita dan mencoba berdamai dengan diri.
Yang pasti trauma jangan dibiarkan. Karena akan menyakiti diri sendiri dan menyakiti orang lain.
Kak aku udah di tahap trauma apapun yang menimpaku di masa lalu aku belajar untuk ‘menerima’nya. tapi aku enggak tau juga apakah ini pertanda sembuh atau bukan. Karena aku ngerti apa yang membuat aku trauma saat itu, apa yang membuat kesal tapi toh kalau jadi dendam tidak menyelesaikan apa-apa. dan sekarang triggernya hanya kalau melihat orang bernasib sama atau akan, aku bakal nangis. gitu aja.
Kalau sudah di tahap menerima itu sudah proses pulih. Menerima keadaan, memaafkan dan berdamai dengan keadaan itu yang perlu.
Belajar lebih mencintintai diri sendiri.
Kalau sesekali ketrigger itu kondisi normal.