Selalu Bersyukur, Cara Mengajarkan Anak Selalu Bersyukur

BERSYUKURLAH KAMU MASIH BISA MAKAN, BANYAK LOH DI LUAR SANA ORANG YANG TIDAK BISA MAKAN. 

Bersyukurlah kamu sehat, liat tuh orang-orang di RS itu, setiap saat mengerang kesakitan. 

Bersyukurlah masih punya ayah ibu, liat tuh orang di panti. Mereka bahkan tidak tahu siapa ayah dan ibunya. 

Terima kasih Tuhan, aku masih bisa duduk manis naik mobil. (Ketika melihat seseorang harus kelelahan mengayuh sepeda tuanya di bawah terik matahari.


Esensi Makna Bersyukur

Ungkapan seperti ini sangat familiar di tengah kita. Ada banyak syukur yang terucap setelah membandingkan diri dengan kelemahan dan kekurangan orang lain. Aku juga pernah mengungkapkan hal ini dulu. Tapi semakin lama, kalimat ini semakin terasa aneh di hati. Seolah-olah kita bersyukur dengan kelemahan orang lain. Seolah harus lihat orang lemah atau berkekurangan dulu baru kita bersyukur dengan apa yang kita punya.  

Bersyukur yang seperti ini tidaklah baik menurut pendapatku. Ada kesombongan terselubung di dalam ungkapan syukurnya.

Seolah-olah orang yang ini diberkati dengan berkat sehat, yang lain tidak. Dan dia bersyukur. 

Seolah-olah orang ini diberkati dengan berkat makan, orang lain tidak. Dan dia bersyukur. 

Melatih Mental Anak yang Bersyukur

Lalu bagaimana ya kita mengajari anak supaya dia bersyukur tanpa melihat kelemahan orang lain terlebih dahulu.  

Ada beberapa hal yang harus kita tekankan: 

  1. Anak diajari menghargai orang lain sebagai makhluk hidup ciptaan yang sama dengan dirinya. 
  2. Anak diajari bersyukur dengan apa yang dia punya. 

Fokus dengan hal baik yang dia miliki. Misalnya: Terima kasih Tuhan aku sehat. Terima kasih Tuhan untuk makanan minuman yang Tuhan sediakan. Terima kasih Tuhan untuk mama papa.  

  • Anak diajari berempati dengan orang susah di sekitarnya. 

“Kasian ya adek kecil itu. Kira-kira ada ngga yang mau mengadopsi dia?” Sampai disitu aja bahasanya, jangan ditambah kalimat, “Kasian ya adek kecil itu. Makanya bersyukurlah kamu masih punya papa dan mama yang bla bla bla.”  

  • Anak diajari bahwa semua manusia punya kelebihan. 

Kalau kita punya kelebihan, berarti orang lain juga punya. Akan tetapi kelebihannya mungkin berbeda. Setiap pribadi tentu saja dianugerahi kelebihan. 

Misalnya: Si A dianugerahi kecerdasan intelektual, bisa matematika, fisika dan kimia. Si B, tidak punya kecerdasan itu, tetapi si B jago olahraga. Dia jagoan dalam bermain sepakbola.

  • Anak diajari berjuang supaya dirinya hebat dan kuat. 

Bukan supaya tidak seperti si A atau si B. Anak diajari untuk memperbaiki diri, meningkatkan kualitas diri dan menjadi orang sukses untuk dirinya sendiri, kelak supaya dia mandiri. Bukan untuk menyaingi atau menjadi lebih dari orang lain.

Contoh: “Kamu harus belajar yang baik, supaya nanti bisa jadi Dokter, bisa beli rumah dan mobil sendiri, bahkan bisa membeli apa pun yang kamu mau.”

Bukannya  

“Kamu harus belajar yang baik, supaya nanti bisa jadi Dokter, bisa punya ini dan itu, ngga kayak si C itu, udah tua tetap minta ke orang tuanya. 

Dengan begitu anak akan tumbuh menjadi pribadi yang menghargai apa yang dia punya dan tetap menghargai orang lain sebagai manusia ciptaan Tuhan tanpa merendahkan orang lain yang ada di sekitar mereka.. 

Mereka akan menjadi pribadi yang bersyukur tanpa harus melihat kelemahan dan kesusahan orang lain dulu. Tidak hanya itu, mereka juga akan menjadi anak-anak pejuang buat dirinya sendiri.

Leave a Comment